-->

SAMPAI BENAR BENAR JADI KAISAR






ANALISIS UNSUR SOSIOLOGI SASTRA
Cerpen “Sampai Benar-Benar Jadi Kaisar”
Karya : Triyanto Triwukromo.


MAKALAH
Disusun Dan Diajukan Guna Memenuhi UAS :
Mata Kuliah         : Teori Sastra
Dosen Pengampu : Mulasih,M.Pd.

Oleh :
Syamsul Faqih (40418025)



JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PERADABAN
2019


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil alamin saya panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa memberi rahmat hidayahnya kepada kami sehingga kami dalam keadaan sehat wal’afiat hingga sekarang ini. Dalam kesempatan ini kami bisa menyeleasaikan makalah dengan judul “Sampai Benar-Benar Jadi Kaisar” insya Allah kami selesaikan dengan baik walaupun jauh dari kesempurnaan. Saya ucapkan terima kasih kepada Dosen kami yang telah membimbing kami, dan juga kami ucapkan kepada teman yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Harapan kami dari pembaca untuk saran dan kritiknya yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Atas perhatian kami ucapkan terima kasih.


Penulis















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………1
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….2
BAB I    PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah………………………………………....................4
B.     Rumusan Masalah………………………………………………………......5
C.     Tujuan Penelitian.........……………………………………………………..5
BAB II   LANDASAN TEORI
A.      Pengertian Sosiologi Sastra…....…………………………………………..6
B. Sejarah Pertumbuhan Konsep Sosiologi Sastra............................................6
C. Sosiologi Sastra Sebagai Suatu Jenis Pendekatan........................................9
D. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra..............................................................9
E. Sastra dan Masyarakat.................................................................................11
BAB III PEMBAHASAN
A. Konteks Sosial Pengarang...........................................................................12
B. Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat.........................................................12
C. Fungsi Sosial Sastra....................................................................................14
BAB  1V   KESIMPULAN……………………………………………………..16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...........17
LAMPIRAN.........................................................................................................26









BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk bermasyarakat. Manusia mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan di dalam kehidupan bermasyarakat atau kehidupan sosial. Kebiasaan-kebiasaan itu kemudian menjadi kebudayaan yang dilakukan oleh manusia dalam masyarakat. Manusia sebagai unsur penting dalam terciptanya suatu budaya. Hal itu dipengaruhi oleh pemikiran manusia yang selalu berkembang. Kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan hasil dari pemikiran manusia yang pada akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus dan turun-temurun.
Karya sastra tercipta karena keinginan pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai seorang manusia yang mempunyai ide, gagasan, dan pesan yang terinspirasi oleh realitas sosial maupun budaya serta menggunakan media bahasa sebagai media penyampaiannya. Penciptaan karya sastra tidak terlepas dengan proses imajinasi pengarang dalam melakukan suatu hal kreatifnya. Karya sastra juga dianggap sebagai bentuk ekspresi dari pengarang itu sendiri (Aniswanti dan Wahyuningtyas, 2016:99).
Karya sastra merupakan peristiwa sosial yang memakai medium bahasa. Dalam hubungan dengan sastra yang berwujud lisan dan tertulis, masalah penggunaan bahasa dihadapkan pada usaha sepenuhnya untuk mengungkapkan isi batin, daya, imajinasi, dan pengalaman (Subriah, 2009: 194) Jika dikaitkan dengan sosial budaya yang menggunakan sastra, maka dapat dinyatakan bahwa nilai sosial budaya suatu karya sastra itu pada umumnya merupakan refleksi masyarakat. Sastra pada dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat tetapi juga mencerminkan kenyataan social yang dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk melihat bagaimana aspek sosial budaya dalam karya sastra tersebut. Sosiologi sastra adalah ilmu social kemasyarakatan yang menelaah suatu karya sastra. Pendekatan sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian sosiologi sastra. Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup berbagai pendekatan yang didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis tertentu. Oleh karena itu, definisi sosiologi sastra cukup banyak karena penelitian sosiologi adalah manusia yang tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat dimana ia berada sehingga definisi tersebut benar-benar sesuai dengan sudut tinjauan masing-masing (Subriah, 2009: 195)

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan yang dikemukakan dalam pendahuluan, masalah yang menjadi pokok perhatian penulis yakni bagaimanakah unsur Sosiologi Sastra yang terkandung dalam cerpen “Sampai Benar-benar Jadi Kaisar” (SBJK) Karya Triyanto Triwukromoyang.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari disusunnya makalah ini adalah menganalisis sedetail mungkin unsur Sosiologi Sastra yang terkandung dalam cerpen “Sampai Benar-benar Jadi Kaisar” (SBJK) Karya Triyanto Triwukromoyang.




















BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dia netral.

Sosiologi adalah ilmu objektf  kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen).  Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Sosiologi sastra adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakatdan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah-masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain. (Atar Semi: 52).
Pandanga Atar Sami mendeskripsikan kajian sosiologi sastra tidak jauh beda dengan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra. Sosiologi sastra ingin mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas sosial (Ratna, 2009:164).  Lebih jauh Wolf (Faruk dalam Endraswara, 2004:77) memberikan defiinisi bahwa sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari studi, studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Generalisasi dari berbagai pendapat tentang sosiologi sastra di atas, sosiologi sastra merupakan telaah terhadap suatu karya sastra dalam kaitannya dengan pengaruh sosial-budaya yang ikut mempengaruhi cerita dalam karya sastra.
Telaah sosiologis itu mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan Werren dalam Atar Semi: 53) yaitu:
1. Sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut status pengarang.
2. Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tenatang suatu karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya
3. Sosiologi sastra, yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat
Pada prinsipnya, menurut Lauren dan Swingewood (Endraswara, 2004:79), terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu;
1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan,
2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya,
3) Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra merupakan suatu telaaah ilmu yang mencoba mengungkap fenomena masyarakat yang terdapat dalam sebuah karya sastra guna memberikan pandangan yang objektif dalam penilaian karya sastra.
B. Sejarah Pertumbuhan Konsep Sosiologi Sastra
Sejarah pertumbuhan konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide. Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdekatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam zamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.
Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial. Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham).
Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
C. Sosiologi Sastra Sebagai Suatu Jenis Pendekatan
Pengantar Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56).
Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.  Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178). Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
D.  Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
1. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut. Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap. Profesionalisme dalam kepengarangan membahasa sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi. Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat membahas sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah: Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis. Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
Genre sastra sering merupakan sifat sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979:4).
3. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “sampai berapa jauh nilai sastra berkaita dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”, ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka.
3) Sudut pandang kompromistis. (Damono, 1978).
Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk membangun suatu sosiologi sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Dalam penelitian novel “Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata ini, konsep sosiologi sastra sendiri menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini dkan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.


E. Sastra dan Masyarakat
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadapa masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidup. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan cara: Faktor – faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.
Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para pembaca.
Hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana sistem masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.










BAB III
PEMBAHASAN
A. Konteks Sosial Pengarang
Sebelum peneliti lebih  lanjut meneliti aspek-aspek sosial budaya yang terdapat dalam cerpen “Sampai Benar-benar Jadi Kaisar” (SBJK ) karya TriyantoTriwukromo, peneliti terlebih dahulu meneliti latar belakang pengarang dalam hal ini biografi pengarang untuk memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian.
Triyanto Triwikromo adalah seorang sastrawan putra dari pasangan Mardino dan Mardiyah yang lahir di Pungkur Sari, Salatiga, tepatnya tanggal 15 September 1964.Masa pendidikannya dilewatkan di Salatiga (SD, SMP, SMA) dan di Semarang (Universitas Negeri Semarang). Sastrawan satu ini masih tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas Diponegoro (Undip) Program Ilmu Kesusastraan, tahun 2007. Ia menikah dengan Wiwik Triastuti dan mereka dikarunia tiga anak, yaitu Primaera Restu Wingit Anjani, Sanrez Adami, dan Ibrah Fastabiqi. Bersama keluarganya ia menetap di Semarang, tepatnya Jalan Ebony A-45, Plamongan Indah.
Triyanto Triwikromo adalah salah seorang cerpenis Indonesia, ia pernah menerima penghargaan Tokoh Seni Pilihan Majalah Tempo 2015 untuk antologi puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo dan  Penghargaan Sastra 2009  Pusat Bahasa untuk antologi cerpen Ular di Mangkuk Nabi. Cerpen “Sampai Benar-benar Jadi Kaisar” (SBJK ) karya TriyantoTriwukromo mengandung aspek sosial budaya sebagaimana pada kutipan berikut:
“Kian lama Kaisar Q kian bodoh. Tak becus mengurus kekaisaran…(SBJK, 2018:1)
B. Sastra sebagai Cerminan masyarakat
Istana Kaisar dilindungi oleh sembilan benteng. Benteng pertama dijaga oleh Ge, pasukan harimau berkepala banteng. Benteng kedua dijaga oleh Ha, pasukan kuda berkepala elang.Benteng ketiga dijaga oleh Jo, pasukan anjing berkepala kobra. Benteng keempat hingga kesembilan dijaga pasukan babi berkepala serigala. Selain itu di belakang pintu  gerbang  utama  hingga  kesembilan  berjaga  pula  1.000  serdadu bersenjata tombak  beracun  (SBJK, 2018:2)
Kutipan di atas menunjukkan adanya bentuk organisasi sosial. Bentuk organisasi sosial tersebut berupa kekaisaran (kerajaan). Kekaisaran tersebut dipimpin oleh  seorang kaisar sebagai kepala pemerintahan. Orang yang menjabat sebagai kaisar tinggal dalam istana dengan penjagaan ketat. Selain itu dalam sistem kekaisaran terdapat panglima, prajurit, hingga rakyat yang menjadi elemen pelengkap dari sistem pemerintahan atau kekaisaran tersebut.

Kekaisaran disebut juga kemaharajaan atau imperium, yaitu suatu satuan politik raya yang mencakup wilayah geografis yang luas, membawahi banyak Negara, suku, dan bangsa, yang dipersatukan dan dipimpin oleh monarki (kaisar) atau suatu bentuk pemerintahan oligarki. contohnya kekaisaran Romawi, yang merupakan kemaharajaan barat yang paling luas hingga periode modern. Dalam sebuah kekaisaran atau kerajaan tentunya memiliki sistem religiatau kepercayaan. Dalam cerita pendek karya Triyanto Triwikromo digambarkan sistem religi atau kepercayaan sebagaimana kutipan berikut.
“Tak bisa menghalau agama yang menganjurkan pemujaan kepada 100 tuhan.Sebaliknya,”. (SBJK, 2018:1)

…Kaisar Q bisa dikalahkan dengan agama. (SBJK, 2018:5)

“Kaisar Ho dari Negeri Hohingjian segera dilaknat oleh Zuban. Zuban, Tuhan yang perkasa itu, tidak suka pada orang-orang yang berpindah agama dan lebih percaya pada makhluk pelindung.Kaisar Ho telah cukup lama melupakan Zuban”. (SBJK, 2018:5).
“Ketahuilah, rakyatku, Kaisar Ho tak lama lagi akan kalah oleh Panglima Luxan. Panglima Luxan ini suka memuja Dewa Langit dan tak pernah menimbun utang.” (SBJK, 2018:6)
Kutipan di atas menunjukkan sistem kepercayaan atau religi yang dia anut dalam kekaisaran tersebut, yaitu sistem kepercayaan monotheisme atau sistem kepercayaan terhadap satu Tuhan atau satu Dewa. Meskipun ada yang yang politheisme namun tampaknya sistem kepercayaan monotheisme merupakan sistem kepercayaan yang ingin diterapkan oleh kekaisaran. Sistem kepercayaan ini tentunya sangat erat kaitan atau hubungannya dengan sistem pengetahuan dan ilmu gaib. Hal tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut.

“Aku pernah membaca kisah Xiong -er di Kitab Aquang Xang-so. Xiong-er miripkupu-kupu. Ukurannya dua kali manusia dewasa.Kepala Xiong-er menyerupai perempuan berambut ular. Mulutnya bisa menyemburkan api.”  (SBJK, 2018:3)

“Jangan terlalu percaya pada dongeng.Xiong -er tak pernah ada dan karena itu
Kaisar Q bisa mati.” (SBJK, 2018:3)
“Kau masih percaya pada Zuban? Zuban itu cuma omong kosong. Zuban cuma
mainan otakmu.” (SBJK, 2018:4)

“Kualat kau tidak percaya pada Zuban.Kau boleh percaya pada 1.000 tuhanketimbang sama sekali tak percaya pada Zuban.” (SBJK, 2018:4)
“Ada. Dulu api yang disemburkan dari mulut Xiong-er berkali-kali telah membakar 3.000 serdadu Negeri Man-guxia. Sejak itu tak ada yang berani melawan Kaisar Q. Bukan karena takut pada Kaisar, melainkan tak beraniberhadapan dengan Xiong-er.”
(SBJK, 2018:5)
“Aku baru saja menemukan kitab kuno yang memuat nubuat kehancuran Kekaisaran Q.” (SBJK, 2018:6)
“Hantu yang Menghilangkan Kekaisaran Q dalam Semalam.” (SBJK, 2018:6)
Kutipan di atas menunjukkan sistem pengetahuan dan ilmu gaib pada zaman kekaisaran tersebut yang masih percaya pada kitab-kitab kuno dan dongeng-dongeng. Hal tersebut berarti sistem pengetahuan pada pasa kekaisaran tersebut masih sangat klasik dalam hal ini belum disentuh oleh sistem pengetahuan modern layaknya pada zaman sekarang ini.
C. Fungsi Sosial Sastra
Selain itu dalam cerpen ini juga ditemukan sistem mata pencarian hidup. Sebagaimana kutipan berikut ini.
“HONGHAYO tak langsung merias diri menjadi badut. Begitu sampai di Pasar Tangqiujing, Honghayo lebih memilih mampir ke kedai yang menjual makanan-makanan kesukaan para bangsawan”. (SBJK, 2018:3)

Kutipan di atas sudah jelas menunjukkan salah satu bentuk mata pencarian hidup dalam kekaisaran,Q yaitu berdagang di pasar Tangkiujing. Pasar merupakan tempat masyarakat atau orang-orang melakukan transaksi jual-beli, jadi tidak menutup kemungkinan dalam sebuah pasar dijual berbagai kebutuhan primer seperti pangan,sandang bahkan papan, serta kebutuhan sekunder. Salah satu aspek social budaya yang paling menarik adalah kesenian. Kesenian dalam cerita pendek SBJK karya Triyanto Triwikromo adalah sebagai berikut :
“Bikinlah semacam tontonan. Ceritakan: telah tiba masa akhir kekuasaan Kekaisaran Q. Kau tahu cara mendongeng yang tak membuat lehermu dipenggal serdadu Kaisar bukan?” (SBJK, 2018:2)
‘Ada suara tuing tuing tuing tung tung tuing tung tung tung tuing tuing di meja terpojok dari semacam alat musik menyerupai kecapi. Ada semacam suara rungrung rung rang rang rang dari alat musik semacam seruling. Ada dengung lalat. Ada ribut-ribut tiga anjing”. (SBJK, 2018:5)
Dia  lebih  tertarik  menatap para  pemusik yang  tetap  memainkan terompet dan genderang mengiringi auman harimau yang berkali-kali tidak bisa menghindar dari tandukan banteng. (SBJK, 2018:6) Kesenian dapat berupa pertunjukan dalam hal ini mendongeng. Mendongeng merupakan salah satu kebudayaan yang sudah lazim bagi siapapun. Selain berfungsi sebagai media hiburan mendongeng juga berfungsi sebagai media penanaman karakter terutama bagi anak-anak. Selain itu ada pula alat musik. Alat music tradisional merupakan salah satu  bentuk  kesenian  yang  biasa  menjadi  ciri  khas  atau  penanda  dari  suatu daerah.  Misalnya  alat  musik  gambus. Alat  musik  gambus  ketika  disebut, seketika akan mengingatkan kita suku Bugis-Makassar sama halnya dengan kecapi.















BAB IV
KESIMPULAN
Aspek sosial budaya yang terdapat pada cerpen “Sampai Benar-benar Jadi Kaisar”
karya Triyanto Triwikromo ada lima, yaitu
1) organisasi sosial yang berupa kekaisaran,
2) religi yang menganut sistem monotheisme,
3) system pengetahuan dan ilmu gaib yang masih sangat klasik dan belum disentuh modernisasi,
4) sistem mata pencarian hidup yaitu perdagangan, serta
5) kesenian yaitu seni pertunjukan dan alat musik.



















DAFTAR PUSTAKA

Aniswanti, Anik  dan Wahyuningtyas, Sri.  2016. “Aspek Sosial Dalam Novel Partikel Karya Dewi Lestari:” Tinjauan Sosiologi Sastra”. Journal of Caraka, vol 3 (1): 98-111.
Arief, Fajar Nur. 2013. “Eksplorasi Orientasi Budaya Indonesia dalam Wacana Jurnal
istik Berbahasa Indonesia”. Journal of Litera,Vol 12 (2): 358-366. Diakses dari https://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/view/1166/974 pada tanggal 18 Mei 2018.
Astuti, Dwi Rr. 2016. Nilai Sosial dalam Novel “Gadis Pantai”. Karya Praoedya Ananta Toer. Journal of Pesona, Vol 2 (1): 1-7.
Hasanuddin. 2016. “Nilai-nilai Sosial dan Religi dalam Tradisi Megalitik di
Sulawesi Selatan”. Journal of Kapata Arkeologi Vol 12 (2): 191-198. Diakses dari http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/kapata/search pada tanngal 19 Mei 1018.
Iswidayati, Sri. 2007. “The Function of Myth in Social Cultural Life of Its Supporting Community”. Journal of Harmonia, Vol 8 (2): 180-184. Diakses dari https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/harmonia pada tanggal 18 Mei 2018.












LAMPIRAN
SINOPSIS CERITA  “Sampai benar-Benar jadi Kaisar “

PERTANDINGAN sepasang gladiator bengis itu belum berhenti.  Mereka masih saling berusaha membunuh ketika Panglima Mantuhatto menyatakan kepada Honghayo, badut kesayangan, ’’Kian lama Kaisar Q kian bodoh. Tak becus mengurus kekaisaran. Tak bisa melawan penyerobot tanah. Tak bisa menghalau agama yang menganjurkan pemujaan kepada 100 tuhan. Sebaliknya, Kaisar kian pandai menimbun utang.”

’’Mengapa tak Tuan bunuh saja Kaisar Q?”

’’Kau kira mudah membunuh Kaisar?’’

Honghayo tidak menjawab pertanyaan itu. Honghayo malah membayangkan dirinya sebagai algojo terkuat. Jika dipercaya membunuh Kaisar, Honghayo akan meminta Panglima mengulang perintah pembunuhan hingga sembilan kali. Setelah tahu harus membunuh Kaisar dengan racun, Honghayo akan mengendarai kuda menyibak kerumunan orang di jalanan yang menghubungkan markas Mantuhatto dengan istana.

’’Kau kira mudah membunuh Kaisar?” tanya Mantuhatto lagi sambil menatap salah satu gladiator menghajar kepala musuh dengan palu.

’’Tak ada yang sulit bagi Tuan Panglima bukan?” jawab Honghayo.

’’Tetapi aku tidak mungkin membunuh dengan tanganku sendiri,” ujar Mantuhatto yang tidak terpekik sama sekali ketika melihat kepala salah satu gladiator berlumur darah karena tak bisa menghindar dari benturan palu.

’’Tuan Panglima meminta hamba membunuh Kaisar?’’

Mantuhatto tidak menjawab pertanyaan Honghayo. Mantuhatto yakin tak sembarang orang bisa berhadapan dengan Kaisar. Istana Kaisar dilindungi oleh sembilan benteng. Benteng pertama dijaga oleh Ge, pasukan harimau berkepala banteng. Benteng kedua dijaga oleh Ha, pasukan kuda berkepala elang. Benteng ketiga dijaga oleh Jo, pasukan anjing berkepala kobra. Benteng keempat hingga kesembilan dijaga pasukan babi berkepala serigala. Selain itu di belakang pintu gerbang utama hingga kesembilan berjaga pula 1.000 serdadu bersenjata tombak beracun.

Mungkin bisa saja seseorang masuk hingga ke beranda istana. Mungkin bisa saja seseorang masuk ke ruang tamu. Mungkin bisa berhadapan hingga sepuluh depa. Mungkin lima depa. Akan tetapi tetap saja tak mudah membunuh Kaisar.

’’Ada penghalang besar yang selalu menyelamatkan Kaisar. Mereka adalah rakyatrakyat bodoh yang mau menjadi benteng.’’

’’Tidakkah Tuan Panglima selalu punya cara untuk membunuh siapa pun?”

Panglima mengangguk. ’’Rakyatlah yang bisa membunuh Kaisar. Rakyat yang tergusur. Rakyat yang ditindas. Rakyat yang membenci Kaisar. Sekarang pergilah ke Pasar Tangqiujing. Bikinlah semacam tontonan. Ceritakan: telah tiba masa akhir kekuasaan Kekaisaran Q. Kau tahu cara mendongeng yang tak membuat lehermu dipenggal serdadu Kaisar bukan?’’

Honghayo manggut-manggut. Setelah memberi hormat, Honghayo meninggalkan Panglima yang masih menonton pertandingan sepasang gladiator bengis. Honghayo tak tahu begitu keluar dari pintu gerbang, kepala salah satu gladiator telah pecah. Darah muncrat dari kepala gladiator yang dihantam palu bertubi-tubi itu.

***
HONGHAYO tak langsung merias diri menjadi badut. Begitu sampai di Pasar Tangqiujing, Honghayo lebih memilih mampir ke kedai yang menjual makanan-makanan kesukaan para bangsawan. Sambil mendengarkan apa pun yang dikatakan pengunjung kedai, Honghayo dengan lahap menyantap 13 tusuk kalajengking, 13 kecoa kering, dan sate kuda laut.

Sambil terus menyantap kecoa kering, Honghayo mendengarkan percakapan dari meja terdekat. ’’Kaisar Q tak bisa mati.’’

’’Kau percaya pada takhayul semacam itu?’’ ’’Itu bukan takhayul. Itu kenyataan. Kaisar Q

dilindungi oleh Xiong-er.’’

’’Kau juga percaya pada makhluk takhayul itu?’’ ’’Itu bukan makhluk takhayul.’’

’’Kau pernah melihat Xiong-er?’’

’’Aku pernah membaca kisah Xiong-er di Kitab Aquang Xang-so. Xiong-er mirip kupu-kupu. Ukurannya dua kali manusia dewasa. Kepala Xiong-er menyerupai perempuan berambut ular. Mulutnya bisa menyemburkan api.’’

’’Jangan terlalu percaya pada dongeng. Xiong-er tak pernah ada dan karena itu Kaisar Q bisa mati.”

’’Kalau Kaisar Q tak bisa mati, apakah kau keberatan?”

’’Jangan berandai-andai. Semua orang akan mati.”

’’Ya. Semua orang yang tidak dilindungi Xiong-er akan mati. Kamu akan mati tetapi Kaisar Q hidup abadi.”

Sampai pada percakapan semacam itu, Honghayo berpindah tempat. Honghayo menguping lagi.

’’Apa nama kucingmu?”

’’Xong.”

’’Apa artinya?”

’’Tempat yang jauh dari bumi.” ’’Mengapa kau beri nama semacam itu?”

’’Kalau kuberi nama Huang, ia akan menjadi kucing gundul dan kampungan serupa kamu.”

Honghayo tersenyum mendengarkan percakapan semacam itu. Andai saja Honghayo mendengarkan semua suara dari semua meja, maka bisa saja dia terkejut, bisa saja ketakutan setengah mati.

Apa suara-suara itu?

’’Hujan tetap hujan meskipun hujan burung funiks yang terbakar.”

’’Jenderal Mantuhatto sudah dikebiri ya?”

’’Suatu saat matahari akan berbentuk kubus dan kepalamu berubah jadi trapesium konyol.”

’’Kau masih percaya pada Zuban? Zuban itu cuma omong kosong. Zuban cuma mainan otakmu.”

’’Kualat kau tidak percaya pada Zuban. Kau boleh percaya pada 1.000 tuhan ketimbang sama sekali tak percaya pada Zuban.” Adakah suara-suara lain? Ada.

’’Apakah ada yang paham pada kekuatan Xiong-er?”

’’Ia bisa meruntuhkan setengah kerajaan sendirian.”

’’Kibasan sayapnya bisa meruntuhkan benteng paling kokoh dan panjang.”

’’Apakah ada pasukan musuh yang dikalahkan oleh Xiong-er?”

’’Ada. Dulu api yang disemburkan dari mulut Xiong-er berkali-kali telah membakar 3.000 serdadu Negeri Man-guxia. Sejak itu tak ada yang berani melawan Kaisar Q. Bukan karena takut pada Kaisar, melainkan tak berani berhadapan dengan Xiong-er.”

Masih adakah suara lain? Masih. Ada suara tuing tuing tuing tung tung tuing tung tung tung tuing tuing di meja terpojok dari semacam alat

musik menyerupai kecapi. Ada semacam suara rung rung rung rang rang rang dari alat musik semacam seruling. Ada dengung lalat. Ada ribut-ribut tiga anjing.

Honghayo sudah tak mendengarkan suarasuara itu. Honghayo telah keluar dari kedai. Honghayo telah menyusup ke toilet dan merias diri sebagai badut.

***
HONGHAYO tahu cara meruntuhkan kekaisaran Kaisar Q. Tidak dengan membunuh sang kaisar. Tidak dengan mengalahkan Xiong-er. Kaisar Q bisa dikalahkan dengan agama. Karena itulah, berdiri di tempat paling ramai, Honghayo yang sudah menjelma badut mulai mendongeng. Sesekali tangannya membunyikan lonceng-lonceng kecil.

’’Kaisar Ho dari Negeri Hohingjian segera dilaknat oleh Zuban. Zuban, Tuhan yang perkasa itu, tidak suka pada orang-orang yang berpindah agama dan lebih percaya pada makhluk pelindung. Kaisar Ho telah cukup lama melupakan Zuban. Setiap hari dia malah bercengkerama dengan Xo Hingjian, kelelawar raksasa berkepala kucing, yang selalu dianggap sebagai pelindung itu. Bukan hanya itu. Bukan hanya itu. Kaisar Ho juga lebih suka berkomplot dengan para pemimpin Suku Doeng yang mengajarkan pandangan-pandangan terlarang. Kaisar Ho lama-lama tidak percaya pada Zuban. Lama-lama Kaisar Ho menindas rakyat. Lamalama Kaisar Ho makan daging dan mayat rakyat.”

Honghayo berhenti sejenak. Honghayo meloncat-loncat. Lonceng-lonceng kecil berkelonengan. Makin banyak yang menonton pertunjukan yang tidak lucu itu.

’’Ketahuilah, rakyatku, Kaisar Ho tak lama lagi akan kalah oleh Panglima Luxan. Panglima Luxan ini suka memuja Dewa Langit dan tak pernah menimbun utang.”

Karena tidak juga mempertunjukkan kelucuan, para penonton marah. Mereka meminta Honghayo turun dari panggung. Pada saat-saat yang melelahkan, rakyat hanya ingin menonton pertunjukan yang lucu. Tak kurang. Tak lebih.

Honghayo paham pada situasi. Honghayo tidak memaksa diri untuk mengungkapkan kisahkisah yang menunjukkan kelemahan Kaisar Q. Dia pun meninggalkan Pasar Tangquijing.

’’Rakyat memang bodoh. Tak paham telah ditindas bertahun-tahun oleh Kaisar Q,” gumam Honghayo bersungut-sungut.

***

SEHARI kemudian pada saat Panglima Mantuhatto sedang menonton adu banteng melawan harimau di tanah lapang berdebu, Honghayo melaporkan hasil memata-matai rakyat di Pasar Tangqiujing.

’’Rakyat makin mencintai, Tuan,” kata Honghayo. Panglima Mantuhatto belum bereaksi. Dia lebih memilih menatap banteng yang mulai menanduk harimau dan darah segar muncrat ke mana-mana.

’’Rakyat menginginkan Tuan jadi kaisar baru,” Honghayo, makin berbohong.

Panglima Mantuhatto masih tak memberikan reaksi. Dia lebih tertarik menatap para pemusik yang tetap memainkan terompet dan genderang mengiringi auman harimau yang berkali-kali tidak bisa menghindar dari tandukan banteng.

’’Rakyat akan membantu membunuh Xiong-er. Rakyat juga tak segan-segan menewaskan Kaisar Q,” kata Honghayo lagi.

Tak memedulikan semua omongan Honghayo, Panglima Mantuhatto justru mengagetkan sang badut.

’’Aku baru saja menemukan kitab kuno yang memuat nubuat kehancuran Kekaisaran Q.” ’’Kapan kehancuran itu tiba, Tuan Panglima?” ’’Tergantung apakah Kaisar Q bisa menghentikan atau tidak.”

’’Kalau tak bisa menghentikan?” ’’Kekaisaran akan berakhir pada 1704.” ’’Dua belas tahun lagi?”

’’Ya, 12 tahun lagi.”

’’Apa judul kitab kuno itu, Tuan Panglima?” Mantuhatto tidak terlalu peduli pada pertanyaan itu. Dia lebih tertarik menatap gigi harimau yang ganti mencabik-cabik punggung sang banteng.

’’Apa judul kitab kuno itu, Tuan Panglima?” Honghayo mengulang.

’’Hantu yang Menghilangkan Kekaisaran Q dalam Semalam.”

’’Apakah Tuan percaya pada ramalan semacam itu?”

Panglima Mantuhatto menggeleng. ’’Tapi kita akan menyebarkan ramalan busuk ini kepada rakyat. Begitu rakyat percaya dan Kaisar Q tidak bisa menyelamatkan kekaisaran, kita akan mudah menumbangkan kekuatan Kaisar Q.”

Tak merasa mendapatkan pencerahan, Honghayo justru ketakutan setengah mati. Honghayo bukan ketakutan menatap tanduk banteng menembus perut harimau sehingga darah muncrat ke sana kemari, melainkan Honghayo membayangkan rakyat bersamasama membawa obor menyerbu istana dan membakar Kaisar Q hidup-hidup.

Tidak! Tidak! Sesaat setelah itu Honghayo justru membayangkan Xiong-er yang telah membelah tubuhnya menjadi seribu dengan ganas menyerbu markas Panglima Mantuhatto. Salah satu Xiong-er mengerkah kepala Panglima Mantuhatto.

Karena itulah Honghayo berteriak, ’’Apakah tak ada cara lain untuk membunuh Kaisar Q, Tuan?”

’’Ada,” kata Panglima Mantuhatto, ’’Aku harus meminta beribu-ribu orang sepertimu meneriakkan bersama-sama, ’Kaisar Q telah mati!’ di Pasar Tangqiujing.”

’’Tetapi Kaisar Q belum mati.”

’’Dia akan mati kalau banyak orang menyatakan dia telah mati.”

’’Kalau ada orang yang tak mau menyatakan Kaisar Q telah mati?”

’’Kita bunuh mereka.”

Maka sejak itu, di Kekaisaran Q beribu-ribu orang mati hanya karena tak mau menyatakan Kaisar Q telah mati.

’’Sampai kapan kita membunuh orang-orang di Pasar Tangqiujing, Tuan?”

’’Sampai aku benar-benar jadi kaisar!” Honghayo, badut yang kian tua itu, tiba-tiba menggigil ketakutan. Dia merasa tak akan pernah bisa menemani Panglima Mantuhatto menjadi kaisar. ***

0 Response to "SAMPAI BENAR BENAR JADI KAISAR"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel